Jumat, 20 September 2013

Pengalaman CP II di Pedalaman Sulawesi Utara

Periode 27 Mei-9 Agustus 2013 kemarin gue berkesempatan untuk menetap di Sulawesi Utara. Kesempatan ini diberikan oleh kampus gue, STT Jakarta untuk mahasiswa di semester 9. Jadi selama 10 minggu itu gue akan praktek pelayanan di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Kesempatan ini gue sambut dengan sangat baik! Secara, Sulawesi Utara itu adalah tanah kelahiran Nyokap gue. Jadi gue bangga bisa menginjakkan kaki dan menetap di sana selama beberapa minggu.
Persiapan gue untuk tinggal di Sulawesi Utara itu heboh banget. Sampe-sampe Elric, pacar gue, juga ikutan repot. Soalnya barang bawaan gue itu 1 koper besar, 1 koper kecil, dan 1 tas ransel. Pastinya itu bakan overweight. Jelas! Sebanyak itu loh!! Keberangkatan gue ke Sulawesi Utara udah diatur dari bulan Februari. Jadi dapet tiket yang murah.

Tanggal 22 Mei 2013, jam 4 pagi gue berangkat menuju Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) bersama Elric dan Nyokap. Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam, gue sampe di Sam Ratulangi Airport, Manado. Di sana udah ada Oma,tante Ledy, dan juga Kak Novy yang jemput gue. Setelah melepas rindu sejenak, kami bergegas menuju Tomohon untuk lapor ke kantor Sinode GMIM. Begitu sampai di kantor Sinode, gue lapor ke resepsionis. Gue dipertemukan dengan seorang Tante Luz. Tante Luz bilang bahwa gue bisa ke tempat praktek pelayanan gue tanggal 27 Mei 2013. Hal ini bikin gue kesel awalnya. Gue udah semangat banget mau langsung ke tempat praktek, eeh malah disuruh nunggu. Lalu gue berpikir lagi. 27 Mei kan masih lama tuh, jadi gue bisa dong jalan-jalan dulu sebelum praktek. Horeee!! Jalan-jalan!! Yuhuuuuuwww!!

5 hari pertama gue di Manado, gue tinggal di rumah Oma. Rumah Oma ada di Airmadidi, 2 jam perjalanan dari kota Manado. Di Airmadidi suasananya nyaman tapi ramai kendaraan, karena Airmadidi ini adalah ibukota kecamatan Airmadidi yang menghubungkan Tondano dengan kota Manado. Jadi di depan rumah Oma gue itu banyak mobil lalu-lalang. Berisik sih, tapi at least ga sampe macet kayak Jakarta lah yaa..

Gue menikmati 5 hari itu. Sungguh.
Harinya pun tiba, gue udah harus ke tempat praktek pelayanan gue. Gue pun deg-degan menanti tantangan apa yang bakal gue hadepin selama 10 minggu ke depan. Dari kantor Sinode GMIM di Tomohon, gue ke arah Tondano, lalu masuk ke Eris dan menuju ke arah hutan. Tunggu, hutan??

Ya! Hutan. Di balik hutan itu, ada wilayah pelayanan GMIM yang namanya Lembean Kombi. Begitu memasuki wilayah Lembean Kombi, sinyal XL hilang! Gue panik. Astaga! Ga ada sinyal, cuy!! Gue lihat ke kiri kanan jalan, gelap (karena emang udah malem). Ga ada tanda-tanda kehidupan sedikitpun. Kepanikan gue meningkat. Gue mulai keringet dingin segede arang. 30 menit ada di 'jalan kegelapan', ada secercah harapan di ujung jalan: mulai keliatan rumah dan lampu di depan rumah-rumah itu. Sampailah gue di desa Kombi.



Malam yang kelam dan gelap itu diganti dengan pemandangan desa yang elok. Ketika matahari muncul, tampaklah hamparan bukit yang indah. Udara yang sejuk ala pedesaan pun berhembus. Dingin! Desa Kombi ini adalah ibukota kecamatan Kombi. Statusnya sama kayak Airmadidi, tapi suasananya beda jauh banget. Jarang kendaraan roda empat yang lalu -lalang di sini. Yang banyak itu motor dan anjing. Sungguh.

Sinyal yang OK di sini cuma 3 dan Telkomsel. XL gue mati total. IM3 gue ada sinyal kadang-kadang. Jadi gue cuma bertahan dengan Telkomsel. Itu pun BB gue ga dapet sinyal 3G.

Gue berusaha untuk beradaptasi di lingkungan baru ini. Gue mulai coba melihat kehidupan di desa ini. Desa ini bakal jadi rumah gue selama 10 minggu, pikir gue. Ternyata gue salah, pemirsah! Desa Kombi ini adalah desa pertama yang gue layani, dan masih ada 7 desa yang harus gue layani. WHAAAAATTT ????

Yah, gue harus pelayanan di Wilayah Lembean Kombi. Di wilayah ini ada 7 desa dengan 7 jemaat GMIM di setiap desa. That's mean, gue akan digilir ke desa-desa di wilayah ini untuk praktek pelayanan selama 10 minggu. Gue dikasih jadwal penempatan di masing-masing desa, dan gue nyaris pingsan! Gue kira gue akan melayani satu jemaat aja, ternyata 8 man! Delapan!!

Tapi semua itu gue lakukan dengan sukacita. Kaget di awal, enjoy kemudian. Sungguh. Gue dimanjain banget di sini. Makaaaaaaaan mulu kerjaannya. Pokoknya berat badan gue naik drastis deh selama di sini. Tapi baju-baju yang gue bawa tetep muat kok buat gue pake, cuma celana tuh yang jadi rada ketat. Gue diajakin jalan-jalan ke bukit Kasih sama pendeta jemaat Kombi. Seru deh!


Ini foto di pintu masuk Bukit Kasih. Di bukit Kasih ini, ada seribu lebih anak tangga. Pegel deh naikin tangganya satu-satu. Tapi pemandangan yang didapat dari atas bukit itu bener-bener keren! Ga sia-sia kaki gue pegel-pegel untuk naik bukit Kasih.

Foto ini diambil ketika gue lagi meniti anak tangga menuju tempat ibadah 5 agama Indonesia.

 Ini foto gereja Protestan di Bukit Kasih. Bangunannya ga gede, tapi udah ga kerawat gitu. Sedih liatnya...
Ini foto Vihara di bukit Kasih. Bangunannya juga ga besar. Kacanya masih bagus, tapi ga sempet masuk ke dalem sih, jadi ga tau situasi di dalem viharanya kayak gimana.

 Ini Pura yang ada di Bukit Kasih. Keliatan terawat sih, mungkin karena emang di kunjungi juga kali yaa. Karena di Sulawesi Utara (setau gue) cuma ada 2 pura. Satu pura lagi ada di Tondano, nggak jauh dari Danau Tondano.
 Ini gambar Mesjid atau mungkin lebih tepatnya Mushola di bukit Kasih. Dari jauh terlihat terawat, tapi yaa gue ga tau di dalemnya kayak apa.
Ini gambar gereja Katolik di Bukit Kasih. Bangunannya aja udah ga terawat, dari luar keliatan berantakan gimanaaa gitu. Miris deh.

Desa setelah Kombi adalah Ranowangko II. Desa ini dingin juga, walaupun letaknya sudah di kaki bukit. Suasananya lebih sepi dari Kombi tapi pengalaman di sini luar biasa banget. Di sinilah pertama kali gue pimpin ibadah penghiburan yang dihadiri oleh 80% penduduk desa. Ibadah penghiburannya sama kayak pesta nikahan, rame banget!! Makanannya enak banget, apalagi mie cakalangnya. Buaaaah, mantab!!

Sinyal masih aman di Ranowangko II. Malah telkomsel lebih bagus di sini. Gue bisa BBM-an di kamar, kalo nelpon suaranya ga putus-putus. IM3 juga OK. Gue beruntung karena pastori/rumah pendeta tempat gue tinggal itu bentuknya rumah panggung. Jadi sinyalnya kenceng. Di rumah lain yang bukan rumah panggung, sinyal ilang sama sekali dari provider apapun. Jadi kalo mau telpon atau SMS harus naik pohon kelapa dulu, biar dapet sinyal di ketinggian.



Setelah Ranowangko II, gue ke desa Sawangan. Ini bukan Sawangan yang di Depok yaak sodara-sodara. Ini desa Sawangan di Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Di Sawangan ini gue makan di rumah-rumah warga jemaat. Hal ini diatur oleh Majelis Jemaat supaya sambil makan, gue juga melakukan konseling pastoral ke warga jemaat. Seru sih, tapi jadinya gue harus repot. Kenapa repot? Karena di pastori/rumah pendeta tempat gue tinggal, jam 7 pagi selalu ada kue dan teh manis. Jam 8 pagi gue dijemput untuk smokol (sarapan). Terus jam 12 siang gue udah dijemput lagi untuk makan siang. Jam 3 sore ada camilan sore dan teh manis. Jam 7 ada ibadah, ada makannya. Setelah ibadah gue makan malam. Jadi dalam 1 hari gue bisa 4-5 kali makan!! Di desa ini gue berasa GODE (gemuk). Sungguh.
Selain itu, di desa ini gue ngerasain 4 hari tanpa listrik! Astaga, repot banget. Laptop ga bisa di-charge, BB  juga gitu. Kalo malem, gelaaaaap banget. Hiiiiyy, sereeeemmm...


Ini foto gue di salah satu pantai di desa Sawangan. Jadi emang Lembean Kombi itu daerah perbukitan (Lembean). Tapi dibawah bukit itu langsung laut Maluku, jadi ada pantainya. Keren deh!

Setelah Sawangan, gue ke desa Kolongan. Di desa ini sinyal Telkomsel kenceng banget! Soalnya tower Telkomsel adanya di desa ini. Senangnya bisa dapet sinyal! Hahahahahaha..
Di Kolongan ini, gue tinggal sama bendahara jemaat. Namanya tante Meify. Tante Meify punya satu suami, Om Marten, dan dua anak, Tirza dan Josua. Gue udah berasa kayak anaknya Tante Meify, karena semua kebutuhan gue beliau siapkan. Mulai dari air panas untuk mandi, makanan, camilan, bahkan jalan-jalan keliling Tomohon, semuanya sama tante Meify. Selama di Kolongan, hidup gue terjamin deh pokoknya. Seru deh di sini, karena ada tante Meify dan keluarganya.
Ini salah satu contoh menu makan malem di rumah tante Meify. Rumah tante Meify ga pernah sepi, jadi kalo mau makan harus masak banyak. Yaa contohnya kayak gini nih, Soto Madura!! Hebat yaa, di daerah Sulawesi Utara gue bisa nemuin soto Madura. Jarang-jarang loh!!
Ini lagi di Gunung Mahawu, Tomohon. Gunung Mahawu adalah salah satu objek wisata yang gue kunjungi sama keluarganya tante Meify. Ki-Ka: Tirza, Gue, tante Meify, Josua. Om Marten ga bisa ikut karena ada kerjaan di kecamatan.
Ini tante Meify. Gue bersyukur banget bisa ketemu tante Meify. Tante Meify ngingetin gue sama Nyokap soalnya. Putihnya, cara ketawanya, seneng becanda, pinter masak, mirip banget deh sama Nyokap gue. *Peluk tante Meify, Manda kangen*

Setelah dari desa Kolongan, gue pindah ke desa Rerer. Di desa ini gue ga terlalu banyak dokumentasinya. Di desa ini gue mulai fokus bikin laporan dari seluruh praktek pelayanan gue. Jadi jarang foto-foto. Tapi di tengah kesibukan gue bikin laporan, permohonan untuk pimpin ibadah dateng bertubi-tubi, seringkali mendadak. Jadi gue sibuk banget lah, sampe sakit segala gue di sini. Ampun deh...

Setelah masa-masa di Rerer gue lalui dengan penuh pengorbanan dan perjuangan (ceileeeh), gue ke Kalawiran. Desa ini kecil banget, cuma ada 80 KK, 50 KK di sini adalah anggota GMIM. Karena sedikit jumlah anggota jemaatnya, pelayanan di sini ga repot, banyak santainya. Jadi gue bisa punya banyak waktu untuk susun laporan segala macem.

Setelah di Kalawiran, gue ke Kinaleosan. Desa ini adalah desa dengan pencobaan yang luar biasa! Satu, desa ini ga ada sinyal. Dua, desa ini penghasil Cap Tikus, jadi banyak pemabuk di sini. Tiga, akses untuk ke luar dari desa ini serem, jalanannya rusak dan di kiri/kanan jalan itu jurang. Luar biasa!! Di desa ini untuk pertama kalinya gue berhadapan langsung sama pemabuk, orang yang jualan togel, dan orang cabul. Ampun deh. Gue juga harus bertarung dengan udara dingin yang nggak nahan!! Karena letak desa ini di puncak bukit, jadi dingin, ga ada sinyal, jalannya ga bagus. Gitu deh. Gue harus bisa jaga diri baik-baik di desa ini. Tapi untunglah gue bisa melalui masa pelayanan gue di sini dengan baik-baik aja.

Untung aja gue ga sendirian di Kinaleosan. Gue punya temen-temen yang selalu temenin gue. Ki-Ka: Meibi, Nanda, Ika, Gue.

Setelah Kinaleosan, gue tiba di jemaat terakhir yang harus gue layani. Desa Makalisung namanya. Makalisung ini di deket pantai, udah di bawah bukit letaknya. Panas banget! Beda jauh sama Kinaleosan yang dingin banget. Jemaat ini anggota jemaatnya sedikit juga, tapi masih lebih banyak daripada Kalawiran. Di jemaat ini gue menutup segala kegiatan praktek pelayanan gue.

Gue bersyukur banget bisa menempuh semua proses ini dengan baik. Emang ga semuanya gue ceritain di sini. Kalo semua gue ceritain, yaa ga muat laah. Terlalu banyak kisah selama 10 minggu di wilayah Lembean Kombi ini.

Yaak, ini ceritaku. Apa ceritamu?

2 komentar:

  1. Halo mandaa frengklyn jemaat gmim imanuel sawangan. Trima kasih sudah melayani di jemaat kami ... selamat melayani

    BalasHapus
  2. Apa arti dari suka cita yg anda maksut ? Jika di dalam tulisan anda terdapat unsur pelecehan terhadap desa kami(Desa Kinaleosan)
    Apa hanya desa kami yg ada orang" seperti itu ?
    Bagaimana dengan desa anda,
    Apa semua orang di sana bisa di anggap suci ?

    BalasHapus