Periode 27 Mei-9 Agustus 2013 kemarin gue berkesempatan untuk menetap di Sulawesi Utara. Kesempatan ini diberikan oleh kampus gue, STT Jakarta untuk mahasiswa di semester 9. Jadi selama 10 minggu itu gue akan praktek pelayanan di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Kesempatan ini gue sambut dengan sangat baik! Secara, Sulawesi Utara itu adalah tanah kelahiran Nyokap gue. Jadi gue bangga bisa menginjakkan kaki dan menetap di sana selama beberapa minggu.
Persiapan gue untuk tinggal di Sulawesi Utara itu heboh banget. Sampe-sampe Elric, pacar gue, juga ikutan repot. Soalnya barang bawaan gue itu 1 koper besar, 1 koper kecil, dan 1 tas ransel. Pastinya itu bakan overweight. Jelas! Sebanyak itu loh!! Keberangkatan gue ke Sulawesi Utara udah diatur dari bulan Februari. Jadi dapet tiket yang murah.
Tanggal 22 Mei 2013, jam 4 pagi gue berangkat menuju Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) bersama Elric dan Nyokap. Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam, gue sampe di Sam Ratulangi Airport, Manado. Di sana udah ada Oma,tante Ledy, dan juga Kak Novy yang jemput gue. Setelah melepas rindu sejenak, kami bergegas menuju Tomohon untuk lapor ke kantor Sinode GMIM. Begitu sampai di kantor Sinode, gue lapor ke resepsionis. Gue dipertemukan dengan seorang Tante Luz. Tante Luz bilang bahwa gue bisa ke tempat praktek pelayanan gue tanggal 27 Mei 2013. Hal ini bikin gue kesel awalnya. Gue udah semangat banget mau langsung ke tempat praktek, eeh malah disuruh nunggu. Lalu gue berpikir lagi. 27 Mei kan masih lama tuh, jadi gue bisa dong jalan-jalan dulu sebelum praktek. Horeee!! Jalan-jalan!! Yuhuuuuuwww!!
5 hari pertama gue di Manado, gue tinggal di rumah Oma. Rumah Oma ada di Airmadidi, 2 jam perjalanan dari kota Manado. Di Airmadidi suasananya nyaman tapi ramai kendaraan, karena Airmadidi ini adalah ibukota kecamatan Airmadidi yang menghubungkan Tondano dengan kota Manado. Jadi di depan rumah Oma gue itu banyak mobil lalu-lalang. Berisik sih, tapi at least ga sampe macet kayak Jakarta lah yaa..
Gue menikmati 5 hari itu. Sungguh.
Harinya pun tiba, gue udah harus ke tempat praktek pelayanan gue. Gue pun deg-degan menanti tantangan apa yang bakal gue hadepin selama 10 minggu ke depan. Dari kantor Sinode GMIM di Tomohon, gue ke arah Tondano, lalu masuk ke Eris dan menuju ke arah hutan. Tunggu, hutan??
Ya! Hutan. Di balik hutan itu, ada wilayah pelayanan GMIM yang namanya Lembean Kombi. Begitu memasuki wilayah Lembean Kombi, sinyal XL hilang! Gue panik. Astaga! Ga ada sinyal, cuy!! Gue lihat ke kiri kanan jalan, gelap (karena emang udah malem). Ga ada tanda-tanda kehidupan sedikitpun. Kepanikan gue meningkat. Gue mulai keringet dingin segede arang. 30 menit ada di 'jalan kegelapan', ada secercah harapan di ujung jalan: mulai keliatan rumah dan lampu di depan rumah-rumah itu. Sampailah gue di desa Kombi.
Malam yang kelam dan gelap itu diganti dengan pemandangan desa yang elok. Ketika matahari muncul, tampaklah hamparan bukit yang indah. Udara yang sejuk ala pedesaan pun berhembus. Dingin! Desa Kombi ini adalah ibukota kecamatan Kombi. Statusnya sama kayak Airmadidi, tapi suasananya beda jauh banget. Jarang kendaraan roda empat yang lalu -lalang di sini. Yang banyak itu motor dan anjing. Sungguh.
Sinyal yang OK di sini cuma 3 dan Telkomsel. XL gue mati total. IM3 gue ada sinyal kadang-kadang. Jadi gue cuma bertahan dengan Telkomsel. Itu pun BB gue ga dapet sinyal 3G.
Gue berusaha untuk beradaptasi di lingkungan baru ini. Gue mulai coba melihat kehidupan di desa ini. Desa ini bakal jadi rumah gue selama 10 minggu, pikir gue. Ternyata gue salah, pemirsah! Desa Kombi ini adalah desa pertama yang gue layani, dan masih ada 7 desa yang harus gue layani. WHAAAAATTT ????
Yah, gue harus pelayanan di Wilayah Lembean Kombi. Di wilayah ini ada 7 desa dengan 7 jemaat GMIM di setiap desa. That's mean, gue akan digilir ke desa-desa di wilayah ini untuk praktek pelayanan selama 10 minggu. Gue dikasih jadwal penempatan di masing-masing desa, dan gue nyaris pingsan! Gue kira gue akan melayani satu jemaat aja, ternyata 8 man! Delapan!!
Tapi semua itu gue lakukan dengan sukacita. Kaget di awal, enjoy kemudian. Sungguh. Gue dimanjain banget di sini. Makaaaaaaaan mulu kerjaannya. Pokoknya berat badan gue naik drastis deh selama di sini. Tapi baju-baju yang gue bawa tetep muat kok buat gue pake, cuma celana tuh yang jadi rada ketat. Gue diajakin jalan-jalan ke bukit Kasih sama pendeta jemaat Kombi. Seru deh!
Ini foto di pintu masuk Bukit Kasih. Di bukit Kasih ini, ada seribu lebih anak tangga. Pegel deh naikin tangganya satu-satu. Tapi pemandangan yang didapat dari atas bukit itu bener-bener keren! Ga sia-sia kaki gue pegel-pegel untuk naik bukit Kasih.
Foto ini diambil ketika gue lagi meniti anak tangga menuju tempat ibadah 5 agama Indonesia.
Ini foto gereja Protestan di Bukit Kasih. Bangunannya ga gede, tapi udah ga kerawat gitu. Sedih liatnya...
Ini foto Vihara di bukit Kasih. Bangunannya juga ga besar. Kacanya masih bagus, tapi ga sempet masuk ke dalem sih, jadi ga tau situasi di dalem viharanya kayak gimana.
Ini Pura yang ada di Bukit Kasih. Keliatan terawat sih, mungkin karena emang di kunjungi juga kali yaa. Karena di Sulawesi Utara (setau gue) cuma ada 2 pura. Satu pura lagi ada di Tondano, nggak jauh dari Danau Tondano.
Ini gambar Mesjid atau mungkin lebih tepatnya Mushola di bukit Kasih. Dari jauh terlihat terawat, tapi yaa gue ga tau di dalemnya kayak apa.
Ini gambar gereja Katolik di Bukit Kasih. Bangunannya aja udah ga terawat, dari luar keliatan berantakan gimanaaa gitu. Miris deh.
Desa setelah Kombi adalah Ranowangko II. Desa ini dingin juga, walaupun letaknya sudah di kaki bukit. Suasananya lebih sepi dari Kombi tapi pengalaman di sini luar biasa banget. Di sinilah pertama kali gue pimpin ibadah penghiburan yang dihadiri oleh 80% penduduk desa. Ibadah penghiburannya sama kayak pesta nikahan, rame banget!! Makanannya enak banget, apalagi mie cakalangnya. Buaaaah, mantab!!
Sinyal masih aman di Ranowangko II. Malah telkomsel lebih bagus di sini. Gue bisa BBM-an di kamar, kalo nelpon suaranya ga putus-putus. IM3 juga OK. Gue beruntung karena pastori/rumah pendeta tempat gue tinggal itu bentuknya rumah panggung. Jadi sinyalnya kenceng. Di rumah lain yang bukan rumah panggung, sinyal ilang sama sekali dari provider apapun. Jadi kalo mau telpon atau SMS harus naik pohon kelapa dulu, biar dapet sinyal di ketinggian.
Setelah Ranowangko II, gue ke desa Sawangan. Ini bukan Sawangan yang di Depok yaak sodara-sodara. Ini desa Sawangan di Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Di Sawangan ini gue makan di rumah-rumah warga jemaat. Hal ini diatur oleh Majelis Jemaat supaya sambil makan, gue juga melakukan konseling pastoral ke warga jemaat. Seru sih, tapi jadinya gue harus repot. Kenapa repot? Karena di pastori/rumah pendeta tempat gue tinggal, jam 7 pagi selalu ada kue dan teh manis. Jam 8 pagi gue dijemput untuk smokol (sarapan). Terus jam 12 siang gue udah dijemput lagi untuk makan siang. Jam 3 sore ada camilan sore dan teh manis. Jam 7 ada ibadah, ada makannya. Setelah ibadah gue makan malam. Jadi dalam 1 hari gue bisa 4-5 kali makan!! Di desa ini gue berasa GODE (gemuk). Sungguh.
Selain itu, di desa ini gue ngerasain 4 hari tanpa listrik! Astaga, repot banget. Laptop ga bisa di-charge, BB juga gitu. Kalo malem, gelaaaaap banget. Hiiiiyy, sereeeemmm...
Ini foto gue di salah satu pantai di desa Sawangan. Jadi emang Lembean Kombi itu daerah perbukitan (Lembean). Tapi dibawah bukit itu langsung laut Maluku, jadi ada pantainya. Keren deh!
Setelah Sawangan, gue ke desa Kolongan. Di desa ini sinyal Telkomsel kenceng banget! Soalnya tower Telkomsel adanya di desa ini. Senangnya bisa dapet sinyal! Hahahahahaha..
Di Kolongan ini, gue tinggal sama bendahara jemaat. Namanya tante Meify. Tante Meify punya satu suami, Om Marten, dan dua anak, Tirza dan Josua. Gue udah berasa kayak anaknya Tante Meify, karena semua kebutuhan gue beliau siapkan. Mulai dari air panas untuk mandi, makanan, camilan, bahkan jalan-jalan keliling Tomohon, semuanya sama tante Meify. Selama di Kolongan, hidup gue terjamin deh pokoknya. Seru deh di sini, karena ada tante Meify dan keluarganya.
Ini salah satu contoh menu makan malem di rumah tante Meify. Rumah tante Meify ga pernah sepi, jadi kalo mau makan harus masak banyak. Yaa contohnya kayak gini nih, Soto Madura!! Hebat yaa, di daerah Sulawesi Utara gue bisa nemuin soto Madura. Jarang-jarang loh!!
Ini lagi di Gunung Mahawu, Tomohon. Gunung Mahawu adalah salah satu objek wisata yang gue kunjungi sama keluarganya tante Meify. Ki-Ka: Tirza, Gue, tante Meify, Josua. Om Marten ga bisa ikut karena ada kerjaan di kecamatan.
Ini tante Meify. Gue bersyukur banget bisa ketemu tante Meify. Tante Meify ngingetin gue sama Nyokap soalnya. Putihnya, cara ketawanya, seneng becanda, pinter masak, mirip banget deh sama Nyokap gue. *Peluk tante Meify, Manda kangen*
Setelah dari desa Kolongan, gue pindah ke desa Rerer. Di desa ini gue ga terlalu banyak dokumentasinya. Di desa ini gue mulai fokus bikin laporan dari seluruh praktek pelayanan gue. Jadi jarang foto-foto. Tapi di tengah kesibukan gue bikin laporan, permohonan untuk pimpin ibadah dateng bertubi-tubi, seringkali mendadak. Jadi gue sibuk banget lah, sampe sakit segala gue di sini. Ampun deh...
Setelah masa-masa di Rerer gue lalui dengan penuh pengorbanan dan perjuangan (ceileeeh), gue ke Kalawiran. Desa ini kecil banget, cuma ada 80 KK, 50 KK di sini adalah anggota GMIM. Karena sedikit jumlah anggota jemaatnya, pelayanan di sini ga repot, banyak santainya. Jadi gue bisa punya banyak waktu untuk susun laporan segala macem.
Setelah di Kalawiran, gue ke Kinaleosan. Desa ini adalah desa dengan pencobaan yang luar biasa! Satu, desa ini ga ada sinyal. Dua, desa ini penghasil Cap Tikus, jadi banyak pemabuk di sini. Tiga, akses untuk ke luar dari desa ini serem, jalanannya rusak dan di kiri/kanan jalan itu jurang. Luar biasa!! Di desa ini untuk pertama kalinya gue berhadapan langsung sama pemabuk, orang yang jualan togel, dan orang cabul. Ampun deh. Gue juga harus bertarung dengan udara dingin yang nggak nahan!! Karena letak desa ini di puncak bukit, jadi dingin, ga ada sinyal, jalannya ga bagus. Gitu deh. Gue harus bisa jaga diri baik-baik di desa ini. Tapi untunglah gue bisa melalui masa pelayanan gue di sini dengan baik-baik aja.
Untung aja gue ga sendirian di Kinaleosan. Gue punya temen-temen yang selalu temenin gue. Ki-Ka: Meibi, Nanda, Ika, Gue.
Setelah Kinaleosan, gue tiba di jemaat terakhir yang harus gue layani. Desa Makalisung namanya. Makalisung ini di deket pantai, udah di bawah bukit letaknya. Panas banget! Beda jauh sama Kinaleosan yang dingin banget. Jemaat ini anggota jemaatnya sedikit juga, tapi masih lebih banyak daripada Kalawiran. Di jemaat ini gue menutup segala kegiatan praktek pelayanan gue.
Gue bersyukur banget bisa menempuh semua proses ini dengan baik. Emang ga semuanya gue ceritain di sini. Kalo semua gue ceritain, yaa ga muat laah. Terlalu banyak kisah selama 10 minggu di wilayah Lembean Kombi ini.
Yaak, ini ceritaku. Apa ceritamu?
Ini adalah hasil perenungan pribadi. Apapun bentuknya, ini tulisan saya. Mohon kritik yang membangun supaya saya bisa menulis dengan lebih baik lagi. Terima kasih :)
Jumat, 20 September 2013
Senin, 06 Mei 2013
Menjelang Ujian
Di kampus gue, sekarang ini adalah minggu-minggu tenang (baca: minggu panik) buat mahasiswa yang ada di semester 2, 4, 6, dan 8. Perkuliahan di semester genap sudah berakhir. Yang ada tinggal ujian akhir semester. Setelah mengakhiri kegiatan belajar-mengajar, ada 1 minggu yang disebut 'Minggu Tenang'. Kenapa 'Minggu Tenang'? Karena waktu 1 minggu ini diharapkan agar kami semua yang akan mempersiapkan diri menuju ujian bisa menenangkan diri sebelum tempur *suara bom meledak di kejauhan*
Gue sendiri heran, kenapa masa 1 minggu menuju ujian itu disebut 'Minggu Tenang'? Apanya yang tenang? Panik, iya. Makanya sebutan lain untuk 'Minggu Tenang' ini adalah 'Minggu Tegang', 'Minggu Panik', atau 'Minggu Sengsara'. Gue rasa, sebutan-sebutan tadi lebih pantas daripada 'Minggu Tenang'. Kata 'tenang' itu semacam trik dalam berbahasa yang digunakan untuk memanipulasi situasi. Kata 'tenang' itu merangsang otak dan perasaan untuk bersikap tenang. Padahal jantung berdegup lebih kencang seperti genderang mau perang *muncul Mulan Jameela dari balik layar*
Di masa 'Minggu Tenang' ini, yang suasananya bener-bener tenang itu cuma di kampus aja. Tapi dalam hati, pikiran, dan perasaan mahasiswa (dan juga dosen, jangan salah), semuanya berkecamuk. Kenapa bisa? Mari, kita pindah ke ruangan yang lebih privat.
BUNUH AJA GUEEEEE.....!!!!
Gue sendiri heran, kenapa masa 1 minggu menuju ujian itu disebut 'Minggu Tenang'? Apanya yang tenang? Panik, iya. Makanya sebutan lain untuk 'Minggu Tenang' ini adalah 'Minggu Tegang', 'Minggu Panik', atau 'Minggu Sengsara'. Gue rasa, sebutan-sebutan tadi lebih pantas daripada 'Minggu Tenang'. Kata 'tenang' itu semacam trik dalam berbahasa yang digunakan untuk memanipulasi situasi. Kata 'tenang' itu merangsang otak dan perasaan untuk bersikap tenang. Padahal jantung berdegup lebih kencang seperti genderang mau perang *muncul Mulan Jameela dari balik layar*
Di masa 'Minggu Tenang' ini, yang suasananya bener-bener tenang itu cuma di kampus aja. Tapi dalam hati, pikiran, dan perasaan mahasiswa (dan juga dosen, jangan salah), semuanya berkecamuk. Kenapa bisa? Mari, kita pindah ke ruangan yang lebih privat.
Ini based on true story, check it out.
Gue mahasiswa semester 8. Untuk ujian akhir semester, ada 9 paper + 1 ujian kelas. Untuk 9 paper, totalnya ada sekitar 60 halaman yang harus gue tulis. Belum lagi buku-buku yang harus gue baca untuk bisa menulis 60 halaman itu. Perhitungannya gini:
9 paper = 9 mata kuliah. Jika 1 mata kuliah butuh minimal 5 buku yang harus dibaca untuk membuat 1 paper, maka berapa buku yang harus dibaca untuk membuat 9 paper?
Pemecahan
dik : 9 paper = 9 mata kuliah
1 mata kuliah = 5 buku
dit : 9 paper = ... buku?
jwb: 1 paper = 5 buku
9 paper = 9 x 5 buku
= 45 buku
kesimpulan:
Jadi, untuk membuat 9 paper dibutuhkan 45 buku.
Nah, itu perhitungannya. Gimana mau tenang kalo harus baca 45 buku dalam waktu seminggu untuk bikin 9 paper? Belum lagi sama 1 ujian kelas, berarti harus hafal materi yang disampaikan selama 1 semester.
Oke, ini cuma keluhan gue aja. Gue mendingan nulis di sini daripada nulis paper. Sungguh! Entahlah, apakah gue bosen sama perkuliahan atau apa. Tapi gue bener-bener ga mood untuk nyusun paper. Beneran, ga boong.
Harus dicari penyebabnya kenapa gue bisa ada di titik terendah kayak gini. Gue ga boleh kayak gini terus! Gue harus bisa keluar dari kemalasan gue. Sebanyak apapun papernya, harus gue kerjain. Nilai bagus sih urusan belakangan, yang penting tepat waktu. Nggak pake ngaret.
Tapi gue jadi ngerasa malu sama diri gue sendiri. Beberapa semester yang lalu, gue pernah punya 12 paper. Tanpa ngeluh sana-sini, gue selesaikan 12 paper itu. Tepat waktu. Dan hasilnya nggak mengecewakan. Dengan 12 paper di masa lalu, gue masih bisa bertahan hingga sampai di semester 8. Kenapa sekarang, ketika ada 9 paper, gue mau nyerah dan males bikinnya?
INI TIDAK BISA DIBIARKAN!
"Semangat itu ada, gan n sis. Niat itu ada. Tapi kenapa gue ga bisa juga mengerjakan semuanya itu?? Kenapa?? Kenapa?? KENAPAAAAAA????"
Okeh, gue yakin nggak cuma gue yang ngerasain ini. Ada juga yang merasakan hal yang sama. Gini, harus ada strategi khusus untuk menangani krisis ini.
- Jangan Manjain Diri Lo! Ini penting loh. Kalo lo terlalu manjain diri lo, yang ada lo akan terbuai dan tugas lo itu ga akan selesai. Cuci muka, baca doa, niat!! Insya Allah pasti bisa!
- Supply mood-booster. Kadang di tengah jalan gairah untuk bikin tugas itu hilang. C'mon guys... Lo harus bikin diri lo semangat lagi. Kalo lo semangat karena denger lagu, pasang lagu! Kalo lo semangat karena makan camilan, ngemil deh! Tapi inget, ini cuma jadi mood-booster, bukan pemanjaan time! OK?
- Minta dukungan dari orang-orang terdekat lo. Sahabat, pacar, orangtua, siapa pun yang bisa bikin lo semangat, bilang sama mereka untuk dukung lo secara moril maupun materil.
Di sini gue ga bakal jadi orang sotoy. Gue juga mengalami kesulitan yang sama. 3 strategi yang gue tulis itu juga akan gue terapin ke diri sendiri. Gue ga mau jadi manusia malas. Gue ga boleh kalah dari pertarungan ini. We need to save ourselves! Ketika kita susah, kita merasakan kesusahan itu terasa begitu berat. Tapi coba pikirkan sebaliknya. Ketika kita bisa berhasil mengatasi kesusahan itu, kita merasakan keberhasilan yang luar biasa. maka, nggak ada salahnya kita menghadiahi diri sendiri atas pencapaian yang sudah kita capai. Nah bentuk hadiah itu bisa macem-macem. Kalo gue sih, gue mau jalan-jalan sama pacar tercinta on the weekend after I passed all the exams. Itu bisa jadi penyemangat loh! Siapa sih yang nggak pengen have fun abis ujian? Iya kan? Ayolah.. Bayangkan kesenangan yang bisa dilakuin setelah lewatin ujian-ujian ini. Kita pasti bisa, sob!
SEMANGAT YAAAHH!!!
Yah, sekian dari saya. Wish we luck!
Jumat, 12 April 2013
My Lovely Brother, Pengki
Gue punya adek laki-laki. Akhir-akhir
ini gue panggil dia Pengki. Kenapa? Ya ga ada alasan khusus sih, cuma iseng
aja. Hehehehehe.
Namanya Theo Krispanki Dandel. Nama itu ada ceritanya loh. Theo
itu diambil dari nama Opa gue, Theofilus Dandel. Lalu, Krispanki itu adalah
kependekan dari KRIStus PANutan KIta. Unik kan? Hebat banget
tuh Papa gue, bisa aja bikin kependekan penuh makna gitu. Lahir tanggal 1 April
1995. Dia lahir kira-kira jam 4 pagi, masih gelap. Makanya ga heran kalo
kulitnya juga gelap (peace, broo :p).
Ini dia Theo Krispanki Dandel
Ketika usianya hampir 1 tahun, kami sekeluarga pindah ke Lubuk
Linggau, Sumatera Selatan. Papa kerja di sebuah perusahaan di sana yang
mengelola kebun sawit untuk dijadikan minyak goreng. Gue waktu itu masih TK A.
Harusnya naik ke TK B, tapi berhubung gue bakal pindah jadi gue ga ikut TK lagi.
Di Lubuk Linggau itu belum ada TK yang dekat dengan lokasi perkebunan sawit
tempat Papa kerja. Jadi, gue masuk SD langsung. Sedangkan adek gue itu (oia,
dia akrab dipanggil Kris) karena masih kecil dan ga ada playgroup di sana, jadi
dia di rumah aja sama Mama.
Adek gue ini agak telat belajar ngomong. Di usia 2 tahun, masih
sulit untuk diajak komunikasi yang nyambung. Kalo dipanggil, "Kris,
sini!" dia ga mau denger. Nengok pun nggak! Papa pun akhirnya mencari cara
supaya dia bisa nengok kalo dipanggil. Papa kasih alternatif nama buat Kris.
Mulai dari Alex, Budi, Chandra, Doni, Edo semuanya nggak ada yang berhasil.
Adek gue tetep aja ga mau nengok ketika dipanggil. Ketika Papa panggil dia
"Ivan", adek gue itu nengok dan bilang, "Apa?" Wah, Papa
seneng bukan main! Dipanggil lagi deh, "Ivan!" Adek gue jawab lagi,
"Apa?" Diulang dipanggil lagi, adek gue selalu ngerespons. Semenjak
itu nama adek gue jadi Theo Krispanki 'Ivan' Dandel. Nama Ivan memang nggak
dicantumin di akte kelahiran. Tapi sejak saat itu, adek gue dipanggil Ivan.
Bahkan di surat undangan ulang tahun temennya aja ditulisnya "Untuk
Ivan", bukan "Untuk Kris".
Suatu kali si Ivan sakit panas. Mama
panik banget karena panasnya nggak turun-turun, padahal semua obat sudah
diberikan. Sampai suatu malam Mama mimpi. Mama mimpi si Ivan dibawa oleh
sejenis casper (hantu yang bersahabat
dengan manusia, wujudnya kayak tuyul tapi dia melayang-layang dengan tubuh agak
transparan). Ketika si casper ini
masuk ke rumah, suasana rumah jadi berantakan. Angin yang menerbangkan si casper ini bikin perabotan di rumah jadi
jatoh dan bahkan pecah. Si casper ini
menggendong adek gue dan mengembalikannya ke Mama. “Maaf ya, bu. Maaf. Saya
minta maaf,” begitu kata si casper.
Mama nanya ke si casper itu, “Kamu
siapa?” Mama nggak begitu jelas dengar namanya si casper itu. Yang jelas adalah dia minta maaf dan merapikan seluruh
rumah yang berantakan dan kemudian dia pergi. Ketika Mama bangun dari tidur,
ajaib sekali! Panasnya Ivan sudah turun! Luar biasa!
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya,
adek gue ini sangat rajin. Bahkan menurut Papa dan Mama, apa yang dia inginkan
selalu tercapai. Ini yang bikin gue agak iri sama kerajinan dan keteguhan
hatinya serta keyakinannya itu. Nggak salah kalo ternyata dia memutuskan untuk
masuk sekolah Teologi dan ingin jadi seorang Pendeta.
Dia aktif di Persekutuan Remaja
Gereja. Rajin olahraga futsal dan basket. Ikut lomba-lomba Debat Bahasa Inggris
juga. Jago main gitar. Pinter ngelawak juga. Waah, adek gue ini AMAZING banget
deh!!
Sekarang dia lagi masa-masa persiapan
buat Ujian Nasional tanggal 15 April mendatang. Ini adalah perjuangan
terakhirnya karena dia sudah diterima di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta,
sekolah yang sama kayak gue. Jadi nanti gue bakal satu sekolah lagi sama dia(terakhir
gue satu sekolah sama Kris itu pas SD).
Intinya sih, adek gue itu AMAZING
karena punya Papa, Mama, dan Kakak perempuan yang nggak kalah AMAZING. Kami
sekeluarga AMAZING karena punya Tuhan Yesus yang paling AMAZING dari semuanya!!
Kamis, 11 April 2013
Kau Adalah Temanku. Apakah Aku Adalah Temanmu?
Bagi sebagian orang, teman sangat penting. Buat mereka, teman adalah orang yang bisa diajak berbagi suka dan duka. Teman bisa membuat hubungan sosial semakin luas. Teman menjadi indikasi seberapa terkenalnya seseorang. Teman menjadi bagian kedua dari hidup selain keluarga. Tanpa teman, dunia terasa hampa. Tanpa teman, handphone, facebook, twitter, dan jejaring sosial seperti tidak ada indahnya sama sekali. Maka tidak heran jika, saking pentingnya teman bagi orang banyak, tidak sedikit dari kita yang mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk 'teman' itu.
Saya baru menyadari satu hal unik di Twitter. Ketika saya ingin berteman dengan pemilik akun di twitter, saya harus menjadi follower-nya dan memita pemilik akun tersebut untuk melakukan hal serupa. Tapi, bisa juga kalau kita hanya me-follow suatu akun tapi tidak di follow back. Itu artinya, status twitter-nya bisa saya lihat, tapi status twitter saya tidak bisa dilihatnya. Dalam istilah lain, 'Kamu jadi temanku, tapi aku bukan temanmu'. Apakah ini disebut 'pertemanan' ? Saya rasa tidak. Ini 'bertepuk sebelah tangan'. Mengapa? Karena berteman itu adalah relasi 2 orang atau lebih yang saling mengenal dan menyebut seorang akan yang lain sebagai 'teman'. Jika hanya satu pihak yang disebut 'teman', maka itu bukan pertemanan.
Sebuah gambar menarik dari 9gag.com
Bukankah sangat tidak mengenakkan jika mengalami hal seperti di atas?
Pertemanan itu syaratnya:
1. Harus saling mengenal. Memang butuh proses. Tapi kalau dalam proses perkenalan itu Anda tidak hati-hati dalam bertindak, bersikap, berkata-kata. Be nice at first.
2. Harus saling menguntungkan. Ini bukan hanya berkaitan tentang materi saja. Tapi jasa dan juga waktu. Jika Anda tidak mampu meluangkan waktu atau sekadar menolong teman, Anda tidak akan dianggap 'teman'.
3. Harus mau berkorban dan dikorbankan. Tidak semua orang yang kita temui adalah tipe orang yang sama. Maka harus siap berkorban demi mendapat teman(-teman) dan juga dikorbankan oleh teman.
Jika Anda tidak siap untuk tiga hal di atas, selamat menjalani pertemanan yang bertepuk sebelah tangan.
Saya baru menyadari satu hal unik di Twitter. Ketika saya ingin berteman dengan pemilik akun di twitter, saya harus menjadi follower-nya dan memita pemilik akun tersebut untuk melakukan hal serupa. Tapi, bisa juga kalau kita hanya me-follow suatu akun tapi tidak di follow back. Itu artinya, status twitter-nya bisa saya lihat, tapi status twitter saya tidak bisa dilihatnya. Dalam istilah lain, 'Kamu jadi temanku, tapi aku bukan temanmu'. Apakah ini disebut 'pertemanan' ? Saya rasa tidak. Ini 'bertepuk sebelah tangan'. Mengapa? Karena berteman itu adalah relasi 2 orang atau lebih yang saling mengenal dan menyebut seorang akan yang lain sebagai 'teman'. Jika hanya satu pihak yang disebut 'teman', maka itu bukan pertemanan.
Sebuah gambar menarik dari 9gag.com
Bukankah sangat tidak mengenakkan jika mengalami hal seperti di atas?
Pertemanan itu syaratnya:
1. Harus saling mengenal. Memang butuh proses. Tapi kalau dalam proses perkenalan itu Anda tidak hati-hati dalam bertindak, bersikap, berkata-kata. Be nice at first.
2. Harus saling menguntungkan. Ini bukan hanya berkaitan tentang materi saja. Tapi jasa dan juga waktu. Jika Anda tidak mampu meluangkan waktu atau sekadar menolong teman, Anda tidak akan dianggap 'teman'.
3. Harus mau berkorban dan dikorbankan. Tidak semua orang yang kita temui adalah tipe orang yang sama. Maka harus siap berkorban demi mendapat teman(-teman) dan juga dikorbankan oleh teman.
Jika Anda tidak siap untuk tiga hal di atas, selamat menjalani pertemanan yang bertepuk sebelah tangan.
Rabu, 10 April 2013
Never Look Back = Ga Pernah Belajar
Lagu yang paling sering saya dengar akhir-akhir ini adalah Girl on Fire dari Alicia Keys. Lagu ini mneceritakan tentang perempuan-perempuan yang tangguh di tengah dunianya. Alicia Keys membawakannya dengan sangat baik dan mampu membakar semangat seorang perempuan seperti saya ketika harus berangkat ke kampus setiap paginya. Lagu ini menjadi lagu pengiring langkah kaki saya menuju tempat saya bergumul dan berjuang.
Memang benar kata orang-orang: ketika kita sedang senang maka kita mnedengarkan lagu, tapi ketika kita sedih maka kita akan menghayati lirik lagu tersebut. Hal ini terjadi pada saya. Ketika saya harus menghadapi berbagai masalah dalam keseharian saya sebagai seorang perempuan, saya mendengarkan Girl on Fire dengan penuh penghayatan. Lagu ini tidak lagi sebagai pembakar semangat tapi juga sebagai sebuah keluhan: Mengapa saya tidak bisa menjadi tangguh seperti sosok perempuan yang digambarkan dalam lagu ini?
Berikut adalah lirik dari lagu Girl on Fire:
Memang benar kata orang-orang: ketika kita sedang senang maka kita mnedengarkan lagu, tapi ketika kita sedih maka kita akan menghayati lirik lagu tersebut. Hal ini terjadi pada saya. Ketika saya harus menghadapi berbagai masalah dalam keseharian saya sebagai seorang perempuan, saya mendengarkan Girl on Fire dengan penuh penghayatan. Lagu ini tidak lagi sebagai pembakar semangat tapi juga sebagai sebuah keluhan: Mengapa saya tidak bisa menjadi tangguh seperti sosok perempuan yang digambarkan dalam lagu ini?
Berikut adalah lirik dari lagu Girl on Fire:
She's just a girl and she's
on fire
Hotter than a fantasy,
lonely like a highway
She's living in a world and it's on fire
Filled with catastrophe,
but she knows she can fly away
Ohhhh oh oh oh oh
She got both feet on the ground
And she's burning it down
Ohhhh oh oh oh oh
She got her head in the clouds
And she's not backing down
This girl is on fire...
This girl is on fire...
She's walking on fire...
This girl is on fire...
Looks like a girl, but she's a flame
So bright, she can burn your eyes
Better look the other way
You can try but you'll never forget her name
She's on top of the world
Hottest of the hottest girls say
Ohhhh oh oh oh
We got our feet on the ground
And we're burning it down
Ohhhh oh oh oh oh
Got our head in the clouds
And we're not coming down
This girl is on fire...
This girl is on fire...
She's walking on fire...
This girl is on fire...
Everybody stares, as she goes by
'Cause they can see the flame that's in her eyes
Watch when she's lighting up the night
Nobody knows that she's a lonely girl
And it's a lonely world
But she gon' let it burn, baby, burn, baby
This girl is on fire...
This girl is on fire...
She's walking on fire...
This girl is on fire...
Lirik lagu ini membuat saya kembali merenung akan permasalahan yang saya alami. Secara umum, saya selalu jatuh pada kesalahan yang sama. Saya tidak pernah belajar dari kesalahan yang sama di masa lalu. Saya sering kali mengingat bahwa kesalahan seperti ini sudah pernah saya buat tanpa pernah menghindarinya. Saya terlalu sering memberikan toleransi pada kesalahan saya sendiri dan, akhirnya, jatuh (lagi) di kesalahan tersebut.
Menyesal? Ya, saya menyesal. Saya sering sekali menyesali segala sesuatu yang saya lakukan. Saya selalu saja melakukan kesalahan. SAYA SELALU SALAH.
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Dan ketololan saya adalah karena saya selalu menyesali tindakan saya yang sebenarnya bisa dihindari, karena tindakan itu pernah terjadi di masa lalu. SAYA BODOH. Kata pepatah, keledai saja tidak akan jatuh di lubang yang sama. Kata pepatah juga, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Bagi saya, saya lebih bodoh dari keledai dan saya tidak pandai seperti tupai karena setiap kali melompat pasti akan jatuh.
Seharusnya ada hal yang lebih baik untuk saya lakukan dari pada menulis di sini. Tapi saya rasa, saya harus merenungi dulu kesalahan saya dan membaginya di sini, baru saya bisa menggalang kekuatan untuk bisa berdiri lagi dan mempersiapkan diri untuk tidak jatuh lagi.
Saya ingin jadi pribadi yang lebih baik lagi. Saya tidak ingin jadi perempuan bodoh, lebih bodoh dari keledai dan sepintar tupai. Semoga saya bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi dan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Saya ingin menjadi Girl on Fire yang selalu memberikan cahaya dan membuat orang lain tertolong. Semoga...
Langganan:
Postingan (Atom)